Kecaman Kabut Hitam
Hujan sore ini terasa pilu.
Beningnya jatuh bersahutan disertai gemuruh air parit di samping rumahku.
Terdengar nyaring namun mengusik segenap perasaan dan daya ingatku. Aku hanyut
dalam rintik suara hujan, sedang pikiranku mengembara pada kisah lalu.
Terlalu lama memandang,
mataku menerawang jauh. Terlintas bayangan kabut hitam yang kerap menghantui
pikiranku. Apa yang ada di kepalaku? Kenapa kenangan itu tak segera berlalu?
Kenapa tak Kau enyah saja? Ini berat. Batinku meronta tersiksa.
Dadaku sesak bila kenangan
itu kembali menyapa. Aku benci ketika mereka memutuskan pergi. Tidak hanya
mengkhianati janji suci, mereka juga sempat membuat layu bunga yang tengah
berkembang. Meskipun tampak kecil dan akarnya tidak terlalu erat dengan tanah,
Ia mengerti bahwa tiada lagi bersama setelah itu.
Benar saja. Aku menjadi
hilang arah saat salah satu sumber kasih sayangku hilang. Insiden itu kerap
menjadi kecaman pada hidupku. Semua yang ku lalui terasa gersang, tapi tidak
dengan Bapak, Super Hero kebanggaanku telah berhasil
menyembunyikan pedihnya. Tak ku lihat murung di wajahnya. Aku tahu Bapak
kecewa. Tapi dia hanya ingin menjelaskan padaku semuanya baik-baik saja.
Sejak perpisahan itu hak asuh
anak dipegang Bapak. Tapi kalau aku harus memilih pun, dulu aku tidak mendapat
pilihan akan hidup dengan siapa. Seingatku, Ibu pergi tanpa pamitan. Alih-alih
memberi kecupan, mengucap kata selamat tinggal saja tak sempat ku dengar.
Beberapa hari sebelumnya aku
mulai menaruh prasangka. Dan saat itu suasana hatiku mulai tak tenang. Tepatnya
malam hari, Ibu sedang merapikan pakaian mungilku. Dia bilang, nanti kalau aku
hendak mengganti pakaian ambil dari lemari itu. Dia juga bilang, ambil bajunya
harus rapi jangan sampai berantakan.
Mendengar itu, aku melamun
keheranan. Sontak aku menatapnya lugu. Lidahku mengolah kata dengan mata
berkaca. “Aku mau ikut Ibu, boleh ya?”
Namun takdir tak berpihak
padaku saat itu. Ibu berlalu begitu saja. Aku tidak tahu Ibu dimana.
Bapak selalu bilang, kalau
aku anaknya Bapak dan akan selalu bersama Bapak. Kata Bapak, Bapak juga bisa
jadi Ibu. Jadi aku tidak boleh menangisi kepergian Ibu.
Ratusan purnama ku habiskan
sebagian besar hidupku dengan Bapak dan Kakak lelakiku. Sedikit demi sedikit
aku mulai bangkit tapi belum sepenuhnya beranjak dari gelora kabut hitam.
Setidaknya luka lama sedikit mengering meski kerap dihantui.
Bapak memberikan kebebasan
padaku. Tak pernah mengekangku, selalu lembut dan tak pernah memarahiku. Aku
dimanjanya dengan cara yang berbeda. Bukan dengan uang, makanan enak atau pun
mainan yang banyak. Ia memberiku terang saat hidup tak lagi berjalan. Ia beriku
peluang saat hambatan kerap menantang.
Bapak memang bara semangatku.
Pemasok kekuatan nyawaku. Pengaruh positif bagi kehidupanku. Aku sayang sekali
pada Bapak.
Bapakku memang seorang yang
pendiam. Dia sangat sabar menjalani roda kehidupan yang terkadang tak berjalan
mulus. Kegigihannya untuk menghidupiku terbukti dengan kerja keras yang tak
kenal lelah. Meski yang Ia dapat tak seberapa, tapi Ia tak pernah menyerah
melawan kerasnya dunia.
Kini aku pun beranjak dewasa.
Dan aku tetap tak banyak bicara mengenai kecaman kabut hitam itu. Hanya saja
aku menyikapi hal tersebut penuh kebimbangan. Aku tak habis pikir, kenapa harus
aku yang terjebak dalam keadaan ini. Aku tidak menyesal, aku hanya menyayangkan
saja. Kalaupun aku harus marah, harus aku bagaimanakan kekecewaanku? Aku tidak
dapat menyalahkan siapapun, aku terlalu sayang mereka.
Kisah ini menjadi pelajaran
yang paling berharga untukku. Aku bisa bercermin untuk menata kehidupanku di
masa depan nanti. Aku menjadi punya tolak ukur dalam bersikap. Aku juga
mengerti arti cinta, kasih sayang dan kebersamaan.
Ya, bahagia itu bersama...
Komentar
Posting Komentar