Ini Tentang Aku dan Nikah
"Kapan nikah?"
Bukan pertanyaan yang asing. Kalimat itu justru kerap Saya dengar sejak menginjak usia 18 tahun.
Di benak anak yang baru lulus Sekolah Manengah Atas (SMA), saat itu Saya tidak tertarik dengan pernikahan. Tapi kalau memikirkan bagaimana bisa lulus kuliah tanpa membebankan orang tua itu harapan terbesar Saya. Ya meskipun di tengah semester Saya harus melambaikan tangan. Bukan menyerah, Saya butuh waktu untuk memperjuangkannya kembali.
Prinsip saya begitu memasuki dunia pendidikan, pacaran bukanlah suatu prestasi keren. Sama halnya dengan menikah. Lebih baik nikah tepat daripada nikah cepat. Menikah itu bukan ajang perlombaan, ini hal sakral. Tidak bisa dipaksakan, tunggu sampai benar-benar mantap.
Jangan terlalu bangga. Sebaliknya jangan terlalu merana jika belum menikah. Masalahnya bukan waktu tapi menemukan pasangan yang tepat. Mau dikatain pemilih? Hey memilih pemimpin negara saja harus selektif apalagi ini pemimpin rumah tangga. Masih mending pilih presiden, gubernur atau bupati yang jelas batas periodenya. Nah ini pemimpin keluarga berlaku seumur hidup kecuali bercerai. Saya korban brokenhome, itu adalah pengalaman terburuk. Saya menentang keras perceraian!
Berbicara tentang kesiapan, memang sampai kapanpun tidak akan siap apabila tidak memaksakan. Tapi bagi Saya keputusan yang menyangkut kelangsungan hidup adalah hal yang prinsipil. Hal yang lumrah apabila nantinya menuai pro kontra khalayak ramai. Saya tidak akan menutup telinga meski hal itu akan menjatuhkan harga diri, dan Saya sadar tidak semua hal akan mendapat respon baik.
Tetap berkomitmen dengan keputusan yang Saya ambil. Mengenai dampak, jelas jauh-jauh hari Saya sudah mempertimbangkan dan memikirkannya secara matang. Baik atau buruk Saya siap menghadapi kenyataan. Saya bisa, Insya Allah.
Saya percaya Allah sudah mengatur skenario kehidupan dengan sebaik-baiknya. Semua punya hak untuk memilih jalan hidupnya masing-masing. Ini pilihan hidup Saya dan Saya pula yang menjalani. Tidak bermaksud apatis, Saya tidak mau hidup apa kata orang.
Sayang apabila prinsip yang dibangun secara kuat harus goyah. Apalagi alasannya karena tidak didukung orang tua atau orang lain. Saya mengerti, bagaimana sakitnya saat sesuatu yang diperjuangkan dianggap konyol oleh orang lain.
Segelintir orang menghina habis-habisan cita-cita Saya untuk mengenyam pendidikan tinggi. Buat apa susah-susah belajar kalau ujungnya bakal jadi istri orang? Gara-gara itu, Saya sempat hidup tanpa tujuan. Malas.
Tapi, setelah lebih mengedepankan logika, Saya berubah pikiran. Sekonyol apapun cita-cita Saya, lebih konyol lagi jika Saya berhenti cuma karena omongan segelintir orang.
Jakamulya, 16 September 2018.
nice(y)
BalasHapusAlhamdulillah, haturnuhun 😊
BalasHapus